Sebagai seorang CEO, saya menyadari bahwa negosiasi bukan semata tentang angka, kontrak, atau siapa yang menang dan kalah. Mulai dari membangun kerja sama strategis, menegosiasikan harga dengan vendor, hingga berdiskusi secara internal mengenai target dan alokasi sumber daya, semuanya menuntut kemampuan bernegosiasi yang matang. Dari berbagai pengalaman tersebut, saya belajar bahwa cara bernegosiasi yang baik selalu berawal dari persiapan yang kuat, empati terhadap sudut pandang pihak lain, serta niat tulus untuk menciptakan nilai bersama.
Prinsip Dasar Negosiasi yang Selalu Saya Pegang

Sebelum masuk ke daftar tips cara negosiasi yang perlu Anda pahami, ada satu hal penting yang selalu saya tekankan yaitu bahwa negosiasi bukanlah tentang mendominasi lawan bicara, melainkan percakapan kolaboratif untuk memecahkan masalah dan menyelaraskan kepentingan bersama.
Karena ketika saya datang dengan mental berperang sejak awal, hasil yang tercapai hampir selalu sulit bertahan dalam jangka panjang, sehingga dengan kerangka berpikir tersebut saya merangkum prinsip-prinsip negosiasi yang menurut saya paling krusial dan paling sering terbukti efektif di berbagai situasi.
1. Persiapan adalah Fondasi Segalanya
Saya tidak pernah datang ke meja negosiasi tanpa persiapan karena dari pengalaman, kegagalan terbesar hampir selalu berawal dari kurangnya riset. Bagi saya, persiapan bukan hanya tentang mengetahui apa yang ingin dicapai, tetapi juga memahami konteks, tekanan, serta kepentingan pihak lain agar diskusi berjalan lebih terarah dan seimbang sejak awal.
Selain itu, saya selalu memastikan sudah memahami BATNA (Best Alternative to a Negotiated Agreement) yang merupakan pilihan terbaik jika kesepakatan tidak tercapai, serta ZOPA atau Zone of Possible Agreement yaitu rentang kesepakatan yang masih dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Dengan pemahaman tersebut, saya bisa menentukan batas minimum yang realistis dan tetap rasional ketika pembicaraan berjalan alot, terlebih karena posisi saya diperkuat oleh data pendukung seperti angka pasar, studi kasus, dan pengalaman sebelumnya sehingga negosiasi tidak sekadar berubah menjadi adu opini.
2. Dengarkan Lebih Banyak, Bicara Lebih Sedikit
Salah satu kesalahan paling umum yang sering saya lihat, terutama pada negosiator pemula, adalah terlalu banyak berbicara, dan dulu saya pun pernah berada di posisi itu. Seiring waktu, saya menyadari bahwa informasi adalah kekuatan, sementara informasi hanya bisa diperoleh ketika saya benar-benar mau mendengarkan lawan bicara dengan sungguh-sungguh.
Karena itu, saya berusaha lebih banyak mendengarkan daripada berbicara sehingga saya bisa menangkap kepentingan tersembunyi, kekhawatiran, dan tekanan yang tidak selalu diungkapkan secara langsung. Sikap ini juga membangun kepercayaan karena ketika seseorang merasa didengar dan dipahami, suasana negosiasi berubah menjadi lebih kolaboratif dan pada akhirnya solusi kreatif pun lebih mudah ditemukan.
Baca juga: Cara Membangun Relasi Bisnis untuk Mengembangkan Jaringan Profesional

3. Gunakan Kekuatan Diam Secara Strategis
Salah satu alat paling kuat dalam negosiasi, namun sering diabaikan, adalah kemampuan untuk diam, dan saya sendiri pernah merasa canggung dengan keheningan tersebut. Seiring pengalaman, saya menyadari bahwa setelah menyampaikan penawaran atau pertanyaan penting, berhenti sejenak justru memberi ruang bagi lawan bicara untuk berpikir dan sering kali mendorong mereka mengungkapkan informasi tambahan yang tidak akan muncul jika saya terus berbicara.
Selain itu, diam juga memproyeksikan kepercayaan diri karena tanpa banyak kata saya menunjukkan kenyamanan terhadap posisi yang saya ambil. Dalam banyak situasi, keheningan ini mengubah dinamika percakapan sehingga pihak lain merasa terdorong untuk memberikan klarifikasi atau bahkan konsesi yang memperkuat arah negosiasi.
4. Ajukan Pertanyaan Terbuka untuk Menggali Kepentingan
Saya jarang membuka negosiasi dengan pernyataan panjang karena lebih memilih memulainya dengan pertanyaan terbuka yang mengajak lawan bicara berbicara lebih dulu. Melalui pertanyaan seperti apa prioritas utama mereka atau apa yang membuat sebuah kesepakatan terasa adil, arah diskusi menjadi lebih jelas dan tidak langsung terjebak pada posisi yang kaku.
Dengan cara ini, saya dapat memahami kepentingan yang sebenarnya, bukan sekadar tuntutan di permukaan, sehingga percakapan bergerak ke arah yang lebih substansial. Dari pemahaman tersebut, peluang pertukaran nilai pun muncul karena sering kali ada hal yang nilainya kecil bagi saya namun sangat berarti bagi mereka, dan di situlah inti dari negosiasi win win yang sesungguhnya.
5. Ciptakan Nilai, Jangan Sekadar Tawar-Menawar Harga
Dalam banyak negosiasi bisnis, fokus sering kali terlalu sempit pada harga, padahal dari pengalaman saya, harga hanyalah satu bagian kecil dari keseluruhan aspek yang bisa dibicarakan. Ketika pembahasan hanya berputar pada angka, ruang untuk menemukan solusi yang lebih bernilai justru menjadi sangat terbatas.
Karena itu, saya selalu berusaha memperbesar nilai kesepakatan dengan melihat opsi lain seperti fleksibilitas pembayaran, durasi kontrak, layanan tambahan, dukungan teknis, hingga peluang kerja sama jangka panjang. Pendekatan ini tidak hanya membuka jalan menuju kesepakatan yang lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak, tetapi juga memperkuat hubungan jangka panjang karena rasa saling percaya tumbuh dan proses negosiasi ke depan menjadi jauh lebih mudah.
Baca juga: Menetapkan Goal Setting: Tips Raih Kesuksesan dengan Lebih Efektif

6. Berani Membuat Penawaran Pertama
Dari berbagai pengalaman dan riset yang saya pelajari, mengajukan penawaran pertama sering kali memberi keuntungan karena dapat memengaruhi arah seluruh proses negosiasi. Penawaran awal ini berperan sebagai acuan psikologis sehingga diskusi cenderung bergerak di sekitar kerangka yang sudah ditetapkan sejak awal.
Meski begitu, saya tidak pernah asal menyebut angka karena penawaran pertama harus tetap masuk akal, didukung data, dan memberi ruang untuk konsesi. Dengan pendekatan tersebut, saya merasa lebih mampu mengendalikan ritme pembicaraan karena saya yang menetapkan kerangka diskusi, bukan sekadar bereaksi terhadap kerangka yang dibuat pihak lain.
7. Kendalikan Emosi, Tetap Tenang, dan Profesional
Negosiasi sering memicu emosi, terutama ketika menyangkut nilai diri, kompensasi, atau tekanan yang tinggi, dan dari pengalaman saya, membawa emosi ke meja diskusi hampir selalu berujung merugikan. Karena itu, ketika tawaran saya ditolak atau dikritik, saya berusaha menyadari bahwa hal tersebut jarang bersifat personal dan lebih sering berkaitan dengan keterbatasan anggaran, kebijakan internal, atau tekanan lain di luar kendali individu.
Dengan menjaga sikap tetap tenang dan profesional, arah pembicaraan bisa tetap produktif meskipun situasinya tidak mudah. Dalam banyak kasus, ketenangan justru menjadi pembeda yang membantu membuka jalan menuju kesepakatan, dibandingkan membiarkan emosi membuat negosiasi berakhir buntu.
8. Selalu Siap untuk Walk Away
Salah satu sumber kekuatan terbesar dalam negosiasi adalah kesiapan untuk pergi karena ketika saya tidak siap melakukan hal tersebut, posisi tawar saya biasanya sudah melemah. Oleh karena itu, sebelum negosiasi dimulai, saya selalu menentukan batas minimum yang masih bisa diterima agar keputusan yang diambil tetap rasional dan tidak didorong oleh tekanan sesaat.
Jika kesepakatan tidak memenuhi batas tersebut, saya lebih memilih mundur dengan sikap profesional daripada memaksakan diri pada kesepakatan yang merugikan. Menariknya, kesiapan untuk berjalan pergi justru sering membuat pihak lain menjadi lebih fleksibel karena mereka merasakan bahwa saya tidak terdesak, sehingga dinamika kekuatan di meja negosiasi ikut berubah.
Baca juga: Strategi Negosiasi Bisnis: Menang Tanpa Harus Mengalahkan
Penutup
Pada akhirnya, negosiasi bukanlah keterampilan instan, melainkan proses belajar yang terus berkembang seiring pengalaman. Setiap percakapan, baik yang berujung kesepakatan maupun tidak, selalu memberi pelajaran tentang cara memahami manusia, kepentingan, dan dinamika keputusan dengan lebih baik.
Bagi saya, negosiasi yang baik adalah negosiasi yang meninggalkan ruang untuk hubungan jangka panjang, bukan sekadar hasil jangka pendek. Ketika kita datang dengan persiapan, empati, dan niat menciptakan nilai bersama, negosiasi tidak lagi terasa sebagai ajang adu kekuatan, melainkan sebagai sarana untuk membangun kepercayaan dan kerja sama yang berkelanjutan.

